Loading...
Jumat, 19 September 2014

PEMUDA YATIM PIATU INI BERTAHAN HIDUP DENGAN MENGANYAM GELANG ASLI WAMENA

Pemuda yatim piatu asal Wamena, Jayawijaya, Paskalis Haluk saat mengayam sebuah gelang rotan tali















Jayapura, 19/9 (Jubi) – Demi harkat hidup , Paskalis Haluk, pemuda yatim piatu asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya  mengandalkan penghidupannya dari  hasil kerajinan tangan khas Wamena.
Gelang rotan tali dan Cincin rotan tali hasil karyanya dengan bahan dasar tali rotan atau Tikil (Sebutan di Wamena) itu di jual mulai dari harga Rp 5 ribu hingga Rp 20 ribu. Dengan bantuan cahaya dari lampu toko-toko di sepanjang jalan tersebut, ia memajang karyanya seadanya, di atas bentanga plastik. dia bersaing dengan pedagang kaki lima lainnya yang kondisinya lebih mapan , sedangkan dirinya bermodalkan tali rotan asli asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
“Kalau Tikil (Tali Rotan) ini habis, saya kembali ke Wamena untuk mencari rotan atau minta saudara di sana untuk kirim ke Jayapura, terus saya ambil di bandara Sentani, Kabupaten Jayapura,” kata Paskalis Haluk (28 tahun) yang berjualan sejak awal tahun 2013 kepada media ini, Kamis (18/9).
Pemuda yang saat ini berdomisili di  APO Bukit Barisan sejak tahun 2012 lalu mengaku tali rotan yang tersedia di hutan Kota Jayapura, dapat dijadikan gelang ataupun cincin rotan. Namun, ia menilai rotan tersebut berstruktur kasar.
“Kalau rotan tali Wamena sangat halus, dan rotan halus itu paling banyak di Jayawijaya dan Lanny Jaya,” ungkap pemuda yang berijasah SD Negeri Inpres Wamena itu.
Anak bungsu dari tiga bersaudara ini menceritakan sejak tamat SD ia tidak dapat melanjutkan sekolah lantaran persoalan biaya. Dengan kondisi ekonomi pas pasan sejak sang Ayah wafat, ia membantu ibunya, yang kini juga telah meninggal pada awal tahun 2014.
“Mama meninggal beberapa bulan lalu, saya jualan di sini dari jam tiga sore hingga jam sebelas malam, setelah itu saya mengambil sisa makanan di warung-warung untuk memberi makan ternak babi milik keluarga saya,” kata Paskalis sambil kepala tertunduk.
Sebelumnya, kata Paskalis, ia berjualan di Merauke tahun 2010-2011, masuk ke Kota Jayapura pada akhir tahun 2012 dan mulai berjualan di awal tahun 2013 hingga saat ini. Dari hasil jualannya itu, ia dapatkan sehari minimal Rp 40 ribu hingga Rp 100 ribu.
“Satu bulan, kalau uangnya saya kumpul dapat lebih dari satu juta rupiah, uang itu untuk beli beras dan kebutuhan lainnya,” tutur pemuda itu.
Saat ditanya, apakah sudah ada orang Pemerintah Daerah yang menyodorkan bantuan  untuk usahanya itu, ia menuturkan jika  selama ini hanya  berusaha sendiri dari hasil jerih payahnya. belum ada satupun uluran tangan pemerintah sampai padanya.
“Ada yang pernah datang pakai pakaian Pemda (Pemerintah Daerah), tapi saya tidak tau dia darimana, mereka datang hanya catat nama saya, terus sampai sekarang sudah hampir setahun tidak datang lagi,” keluah pemuda itu sambil membakar sebatang rokok.
Tidak hanya pemuda yatim piatu itu yang berjualan pernak pernik asli Pegunungan Tengah di jalan Ahmad Yani, Kota Jayapura. Tampak pula disamping seorang pri paruh baya yang diperkirakan berusia 65 tahun sedang memamerkan hasil karyanya yakni Kalung Anggrek Manik Kasuari. Simon Haluknya, ia berjualan bersama pemuda yatim piatu itu.
“Kalung ini harganya banyak, ini Rp 50 ribu, Rp 70 ribu dan yang ini Rp 150 ribu,” kata Simon sambil menunjukkan dagangannya.
Kakek yang memiliki 21 anak dari enam  istri itu juga mengaku baru berdomisili di Kota Jayapura sejak tahun 2013 lalu. Ia hanya bisa menghidupi kedua istrinya yang turut diboyong  dari Wamena untuk hidup di ibukota provinsi Papua.
“Kalau ada pembeli, biasanya saya dapat Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu tiap hari, begitu Anak. Tapi, Bapak sering tidak mendapatkan hasil. Kalung ini Anggreknya asli dari hutan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya,” kata pria lima cucu ini.
Batang bunga anggrek yang ada di ibukota provinsi ini, menurutnyatak baik untuk jadi  kalung manik anggrek, diameternya terlalu besar.
“Aduh, kalau anak pakai kalung taring babi tangkal roh jahat, selalu dipakai untuk berperang,” kata Simon yang berusia 67 tahun, sambil menawarkan jualannya kepada seorang calon pembeli.
Di tempat yang sama, salah seorang pembeli, Ardy kepada media ini mengungkapkan kesenangannya dapat memiliki gelang asli Wamena tersebut. terlebih karena dia  dapat melihat langsung proses pembuatannya langsung dari tangan perajin.
“Harganya murah sekali, ini asli tapi murah. Saya beruntung, tapi saya belum tahu berapa harga gelang asli seperti ini di tempat lain. Kebetulan ini buat oleh-oleh teman saya yang mau berangkat ke luar Papua besok pagi,” kata Ardy. 

Sumber :  http://tabloidjubi.com/2014/09/19/pemuda-yatim-piatu-ini-bertahan-hidup-dengan-menganyam-gelang-asli-wamena/

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP