Auki Tekege, Pembawa Terang Bagi Masyarakat Koteka
Bapak Auki Tekege |
Auki sebagai
salah satu tokoh diantara sekian banyak tokoh yang telah membuka pagar Allah
yang dibuat secara bertahap di tanah Papua dengan dorongan roh kudus.
Tokoh-tokoh yang tercatat dalam sejarah pembukaan pagar Allah di tanah Papua
ialah Ottouw dan Geisller di Mansinam Manokwari (Papua Utara)
pada tahun 1855, Ardmanville d’cock di Kokonao (Papua Selatan) pada
tahun 1902, Auki Tekege (1932-1934) dan lain-lain sebagainya.
Pada zaman
simbiotik, banyak orang dari timur mengembara ke bagian barat pegunungan pusat.
Salah satu marga yang pindah dari sekitar danau Tage ke Mapia adalah marga
Tekege. Adalah Obasso Tekege, adik bungsu dari tiga bersaudara melarikan
diri dari Tage (dimiya) ke Mapia karena bagian daging burung yang diinginkannya
tidak diberikan oleh kedua kakaknya sehingga Obasso mengembara ke Tigi, pindah
lagi ke Idadagi masuk daerah Mapia, menetap di Maymapa dan tidak lama kemudian
pindah ke Modio. Keturunan Obasso sebagai berikut; Dodota, Menani, Wateisa,
Mootoo, Memaha, Beneika, Siwaika, Bidahai dan Bedoubainawi (dikenal Auki).
Disebut Bedoubainawi
karena semasa muda, Bedoubainawi mempunyai hoby berburu burung (Bedo =
burung, ubai = cari, nawi = jalan). Sehingga ia sudah mengoleksi
berbagai jenis burung. Sebagian besar dari burung yang dikoleksi adalah burung
Cenderawasih. Bedoubainawi rupanya mempunyai maksud tertentu dibalik kegiatan
koleksi burung Cenderawasih. Ia sering kali berjanji kepada masyarakatnya bahwa
pada suatu saat ia akan menghadirkan Ogai-pii (dunia modern). Menginjak
usia dewasa, Bedoubainawi mulai berburu keluar daerah Modio. Daerah yang sering
dilalui adalah daerah Isago-doko (diantara Mapia dengan Kokonao). Di
Isago ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Ikoko Nokuwo. Sering mereka
berdua berjualan hasil bumi kepada orang-orang Kamoro (pantai selatan), dan
diganti dengan kulit bia (mege = alat pembayaran), sambil latihan bahasa
Kamoro. Kepala suku Kamoro dengan kepala perangnya sangat dikenal baik. Hari
demi hari mereka dua mulai belajar bahasa Kamoro dan akhirnya menjadi fasih.
Bedoubainawi
sudah lupa lagi dengan kampung kelahirannya di Modio. Namun pada suatu saat ia
kembali ke kampung Modio tanpa membawah sesuatu apapun. Kedatangannya tidak
disenangi masyarakat Modio yang ditinggalkan bertahun-tahun. Orang-orang Modio
bertanya kepada Bedoubainawi “dimana ogaipii yang dari dulu kamu
janji?“. Akhirnya masyarakat Modio memanggil TAPEHAUGI yang artinya orang yang
tidak beruntung. Pada waktu itu hampir seluruh daerah Mapia terjadi perang.
Perang itu terjadi antar klan/marga dan kampung akibat pencurian, perzinahan
yang berbuntut pada pembunuhan yang sifatnya melanggar hukum Tota Mana.
Sistem sangsi hukum pun tidak berlaku, hanya nyawa ganti nyawa. Dengan kata
lain kebenaran-kebenaran itu semakin hilang.
Tapehaugi
hampir setiap hari berpikir, bagaimana caranya sehingga masyarakat bisa hidup
aman, damai dan rukun berdasarkan ajaran-ajaran Kabo mana dan Tota
mana. Pada suatu hari Tapehaugi memutuskan pergi mengunjungi rekannya Ikoko
Nokuwo di daerah Isago. Awal tahun 1930 Tapehaugi bersama istrinya Kesaimaga
Gobay mulai berjalan menuju pantai selatan. Selama satu minggu mereka berjalan
dari Modio bermalam di Mokobike, Boubaga, Dikitinai hingga di kampung Bidau.
Dikampung Bidau ia bertemu Ikoko Nokuwo dan masyarakatnya bermarga
Gabou-Kahame. Dari Bidau mereka menuju Wagikunu. Esoknya mereka menuju kampung
Dowudi dan malam ketujuh mereka sampai di kampung Makaihawido. Di kampung itu
Tapehaugi menetap lama dan membuat rumah.
Tak lama
kemudian mereka pergi menjual hasil buminya ke Ugoubado (Pronggo) untuk
ditukarkan dengan hasil bumi dari pantai. Sampai di Ugoubado mereka masuk
dirumah kepala suku Kamoro. Pada malam hari Kepala Suku Kamoro menceritakan
tentang orang-orang barat yang sedang mewartakan Injil di daerah Kokonao.
Tapehaugi sangat tertarik dan ingin berjumpa dengan para misionaris tersebut.
Namun Kepala Suku Kamoro itu tidak menceritakan dimana keberadaan para
misionaris itu. Tapehaugi mengetahui maksud hati Kepala Suku dan berjanji
setelah tiga bulan Tapehaugi dan rombongannya akan membawah hasil buruan dan
makanan. Janji Tapehaugi diterima baik oleh Kepala Suku Kamoro.
Tiga bulan
kemudian Tapehaugi bersama rombongannya membawah 40 ekor burung Cenderawasih (tune
mepiha) yang sudah dikeringkan sebelumnya, ditambah makanan dan tembakau.
Orang Kamoro pun sudah mempersiapkan kulit bia, 40 buah kampak batu (maumi)
dan hasil laut lain sesuai perjanjian. Setelah pertukaran barang selesai,
Kepala Suku Kamoro berjanji akan membawah para misionaris untuk berkenalan
dengan Maihora (panggilan orang Kamoro kepada Tapehaugi). Dengan
hati yang senang dan gembira Tapehaugi bersama rombongannya kembali ke
Wagikunu.
Pada suatu
hari sementara Tapehaugi sedang membuat kebun, tiba-tiba istrinya Kesaimaga
memanggil: “Ke-ke..tobouga-gogo wake, akogeima kedeke kamena keino
owegaimi”. Artinya ‘’hai orang Tobousa, jangan melamun,
sahabat-sahabatmu sedang datang, mari jemput mereka”. Tapehaugi pun
bergegas menjemput mereka. Sesampai dirumah ia berpapasan dengan orang-orang
berkulit putih persis seperti anak yang baru lahir (detamagawa). Kepala
suku Kamoro berkata kepada Auki: “Maihoga, inilah orang-orang yang mewartakan
kabar gembira”. Maka mereka saling berkenalan satu sama lain. Orang-orang
berkulit putih itu antara lain Pater
Tillemans MSC dan dr Bijmler. Pada kesempatan itu tepat bulan April 1932. Tapehaugi menceritakan, “dibelakang gunung
sana, orang seperti saya banyak, saya minta supaya kabar Injil diwartakan
kepada rakyat saya yang berada dibalik gunung sana”, ungkap Tapehaugi berharap.
Pater Tillemans berjanji setelah tiga tahun dirinya akan datang menuju
Modio – Mapia. Selanjutnya Tapehaugi bersama istrinya kembali ke Modio.
Dalam
perjalanan pulang, Tapehaugi mendapat nama baru dari seorang Malaikat di
kampung / gunung Mokobike (Mouhago). Nama yang diberikan adalah AUKI
– artinya laki-laki yang hebat dalam nada keheranan. Sesampainya di Modio,
Auki menceritakan perjalanannya ke Kokonao termasuk nama yang baru diberikan
itu. Orang-orang yang turut mendengar cerita Auki antara lain Minesaitawi
Tatago, Metegaibi Kedeikoto, Dakeugi Makai dan teman sedawar lain yang masih
hidup pada masa itu.
Pada tanggal
21 Desember 1935, P. Tillemans yang mengikuti Bijmler Ekspedisi menuju Modio.
Setelah lima hari perjalanan, pada tanggal 26 Desember 1935 rombongan P.
Tillemans dan Tuan Bijmler tiba di Modio. Pada waktu itu Ikoko Nokuwo memakai
topi yang dibuat dengan rotan. Mereka disambut dengan Tupi Wani (Kapauku
Folkdance) dan dipotong dua ekor babi sebagai pengucapan syukur atas kehadiran
dua orang barat tersebut.
Selanjutnya
Auki memerintahkan kepada Minesaitawi
Tatago dan Dakeugi Makai untuk memanggil seluruh pimpinan masyarakat
(Tonawi) yang ada diseluruh pedalaman Paniai. Sepuluh hari kemudian, para
Tonawi tersebut tiba dengan rombongannya dengan membawa babi untuk pesta
perdamaian [tapa dei]. Mereka yang turut hadir pada waktu itu antara
lain Zoalkiki Zonggonau dan Kigimozakigi Zonggonau dari Migani, Gobay Pouga Gobay dari Paniai,
Itani Mote dan Timada Badi dari Tigi, Papa Goo dari Kamu, Tomaigai Degei dari
Degeuwo, Pisasainawi Magai dari Piyakebo, Dekeigai Degei dari Putapa, Enagobi
Gobai dari Pogiano, Tubasawi Tebay dari Toubay, Mote Pouga Mote dari Adauwo dan
Dakeugi Makai dari Pisaise, dll.
Pada tanggal 7 Januari 1936, Pater Tillemans
memimpin Misa Kudus dan membuka Injil diatas batu didepan rumah Bapak Auki.
Itulah misa pemberkatan pertama di kampung Modio. Setelah misa kudus,
dilanjutkan dengan doa perdamaian (tapa dei) yang dipimpin oleh Auki.
Dalam doa inti Auki meminta Minesaitawi dan Dakeugi untuk membunuh dua ekor
babi yang telah dipersiapkan (Sabakina dan Bunakina). Ketika
membunuh bunakina (babi hitam) Minesaitawi berkata: Aki mogaitaitage
Mee (bagi yang akan berbuat zinah), aki oma nai tage Mee (bagi yang
akan mencuri), aki pogo goutage Mee (bagi yang akan membunuh), aki
Mee ewegaitage Mee (bagi yang akan menceritakan orang lain), aki pusa
mana bokouto Mee (bagi yang akan menipu) kou ekinama dani kategaine. Artinya:saya
samakan kamu yang akan melanggar ajaran Tota Mana dengan babi yang saya bunuh
agar tidak terulang lagi.”Selanjutnya Dakehaugi membunuh babi putih yang sudah
diikat di Pohon Otika. Setelah itu Dakehaugi memotong pohon Otika dan
mengeluarkan darah merah pertanda persembahan diterima.
Setelah
upacara perdamaian selesai, rombongan Pater Tillemans kembali ke Kokenau dan
melaporkan perjalanan kepada Pimpinan Gereja di Langgur (Ambon) dan Pemerintah
Hinda Belanda bahwa dipedalaman Paniai ada manusia. Laporan itu diketahui
Assisten Residen Fakfak dan Bestuur Assisten di Kaimana dan meminta Pilot
Letnan Dua Laut Ir. F. Jan Wissel untuk menelusuri daerah Pegunungan. Pada awal
bulan Februari 1937 Pilot Wissel terbang dari Utara (Serui = Geelvink)
ke arah Selatan (Babo) menggunakan pesawat Sikorsky milik perusahaan Nederlands
Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij (NNGPM) dan menemukan tiga buah danau
dan perkampungan disekitar danau itu. Sejak saat itu danau Paniai, danau Tage
dan danau Tigi dikenal Wisselmerren (bahasa Belanda artinya danau-danau Wisel).
Selanjutnya pada bulan April 1938 P. H. Tillemans MSC ikut Ekspedisi Van
Eachoud menuju Enarotali untuk membuka pos-pos pelayanan sekaligus menemui
Tonawi-Tonawi yang sudah dikenal jauh sebelumnya di Modio, 1936.
Berita
adanya manusia di Pedalaman Paniai didengar pula oleh Pendeta R. A. JAFFAR.
Akhir tahun 1937 Pdt. R. A. Jaffar mengajukan permohonan dan meminta ijin
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membuka penginjilan di daerah pedalaman
Paniai dan permohon tersebut dikabulkan. Dari Makasar beliau berangkat menuju Bumi
Cenderawasih untuk melihat secara langsung keadaan penduduk disana. Selanjutnya
Pdt. R. A. Jaffar mengutus Pdt. Walter Post dan Pdt. Russel Dabler untuk
merintis daerah pedalaman Paniai. Sesampai di Uta mereka berdua dijemput
Yineyaikawi Edowai dan menuju daerah Paniai melalui sungai Yawei. Begitu tiba
mereka bermalam di rumah Itani Mote di Yaba (Waghete).
Tahun-tahun
berikutnya berturut-turut didatangkan penginjil-penginjil muda seperti Sam
Pattipeiloi dari Ambon, Poltak Saragih asal Tapanuli dan Paja asal Kalimantan
Timur bersama 20 orang dari Kalimantan Timur meninggalkan Makasar pada 5 Maret
1939. Mereka tiba di bumi Cenderawasih pada 20 April 1939. Berikut tahun 1941
datang pula beberapa lulusan SAM pada route yang sama yaitu Ch. D. Paksoal, P.
Pattipeiloi, C. Akhiary (Ambon Sanger Talaut), Ajang Lajang, Salim dan Teringan
asal Kalimantan Timur. Dari kalangan gereja Katolik datang pula beberapa
guru-guru muda seperti Andreas Matorbongs ditempatkan di Enarotali, gr Meteray di Kugapa dan Petrus Letsoin
di Yaba.
Segera
sesudah itu perang dunia kedua meletus dan seluruh pelayanan misi dan zending
diberhentikan. Beberapa misionaris dan pemerintah Belanda diinternir oleh
tentara Jepang. Salah satu surat yang dilayangkan berbunyi: “Als de
kontreleurs en de Pastoors zich niet aan de Japanners overgeven, hebben nedaar
voor reeds twee grote kapmessen gereedliggen, een voor de pastoor en een voor
mij”.Artinya jika pemerintah dari Belanda dan Pater tidak menyerahkan diri
kepada pemerintah Jepang, mereka akan dipenggal kepalanya. Orang-orang Jepang
telah menyediakan dua buah pisau besar, satu untuk penggal kepala para pastor,
dan satu untuk saya (de Bruijn).
Mendengar
informasi ini, para misionaris dan Pemeritah Belanda segera disembunyikan oleh
orang-orang pedalaman di beberapa tempat seperti Komandoga, Siriwo dan
Pegaitakamai. Orang-orang yang disembunyikan di Pegaitakamai antara lain Pater
Tillemans, dr Rubiono dan DR. J.V. de Bruijn. Di gunung ini dokter Rubiono yang
mengikuti kedua orang barat itu menemukan seorang bayi kecil (tuan tanah)
dan disembunyikan dalam tas. Menurut orang Mapia hingga saat ini, dokter
Rubiono adalah Ir Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Walaupun dalam
dokumen-dokumen sejarah Suku Me dan daerah sekitarnya tidak pernah disebut nama
Soekarno, kecuali nama dr Rubiono dan Adang Rusdy, seorang operator Radio
Belanda – dan juga Ir Soekarno sebelum tahun 1945 belum pernah injak daerah
pedalaman Irian.
Tak lama
kemudian pada bulan Agustus dan September 1942 tentara Jepang masuk ke daerah
Paniai melalui Uta ke Oraya terus ke Enarotali. Cengkeraman kekuasaan Jepang di
Paniai menyebabkan HPB de Bruijn terpaksa mengungsi ke Australia. Dalam
pengungsian ini, ikut serta 26 pemuda Ekagi dan Migani. Mereka adalah Markus
Yeimo, Piter Kadepa, Bernadus Gobay, Petrus Gobay, Kornelis Madai, Obeth
Takimai, Erenius Mote, Yoakim Mote, Dominggus Mote, Bernadus Mote, Markus Goo,
Kosmos Ekee dan Animalo Adi. Dari Merauke ada beberapa yang masuk polisi
seperti Manatadi Gobay, Kaimodi Yogi, Bintang Gobay, Paulus Madai dan Yoseph
Yeimo. Sedangkan yang lain masuk Batalyon Papua yang dibentuk tentara Sekutu
untuk memerangi sisa-sisa tentara Jepang. Sementara itu, de Bruijn membawah
tiga pemuda Ekagi ke Australia, masing-masing Karel Gobay, Zakeus Pakage dan
Ikoko Nokuwo. Sementara itu Pater H. Tillemans dan dr. Rubiono bersama beberapa
guru lainnya, berangkat dari Mapia menuju Enarotali untuk menunggu pesawat
menuju Merauke. Di Enarotali P Tillemans dan rombongannya disembunyikan di
gunung Bobaigo. Di gunung ini, dr Rubiono menangkap burung Garuda (Imu = penjaga
gunung, menurut orang Mee).
Pada tanggal
24 Mei 1943 P Tillemans MSC dan rombongannya berangkat dengan pesawat terbang
dari Enarotali ke Merauke. Dua hari setelah keberangkatan mereka, daerah Paniai
dan sekitarnya diduduki oleh tentara Dai Nippon. Usai perang dunia kedua,
misionaris dan zending kembali ke daerah Paniai dengan membawah tenaga-tenaga
guru, suster, Pater untuk membangun daerah yang telah “dipagari Allah”. Dari
Misi seperti Gerardus Ohoiwutun dan Bartholomeus Welerebun di Enarotali./GP.
0 komentar:
Posting Komentar