JENEWA, SUARAPAPUA.com --- Wensislaus Fatubun dari Sekertariat Keadilan,
Perdamaiaan dan Keutuhan Ciptaan Misionaris Hati Kudus (SKPKC-MSC),
menyatakan, aparat pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak hidup
orang asli Papua di tanah Papua.
Hal ini disampaikan Fatubun dalam sidang di Dewan Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sesi ketujuh, dengan agenda “Mencegah
dan menangani kekerasan, kekejaman, dan kejahatan yang ditargetkan
terhadap kelompok minoritas."
Menurut Fatubun, hukum Indonesia menetapkan kewajiban pemerintah
untuk menjamin hak-hak minoritas Papua Barat, termasuk hak untuk
kebudayaan, pendidikan, kesehatan dan pembangunan ekonomi.
“Penelitian yang kami lakukan pada 2012 sangat memperlihatkan, hak
orang asli Papua Barat untuk hidup telah dilanggar oleh aparat negara
Indonesia,” katanya, saat memberikan keterangan di ruang XX, Palais des
Nations, Geneva, Switzerland, Kamis (27/11/2014).
Menurut
Fatubun, merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi keberadaan
identitas nasional atau etnis, budaya, agama dan bahasa minoritas dalam
wilayah masing-masing, dan mendorong sebuah kondisi untuk mempromosikan
identitas mereka.
“Kami mencatat bahwa UU Pemerintahan No.21
Indonesia Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua Barat memberikan
perlindungan hukum dan politik bagi minoritas Papua Barat di Indonesia,
khususnya hak-hak dasar dan kebebasan mereka, kesejahteraan dan hak-hak
untuk memperbaiki sejarahnya sendiri.”
"Namun, masih terjadi
kasus pembunuhan kilat, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang dan
penahanan antara Oktober 2011 dan Maret 2013, yang menunjukkan
peningkatan kekerasan," kata Fatubun, yang juga bekerja untuk Fransiskan
Internasional.
Dikatakan, selam ini pelaku yang merupakan anggota polisi dan lembaga
militer tidak bertanggung jawab, terutama di daerah dataran tinggi yang
terpencil.
Bentuk-bentuk kekerasan yang paling sering terjadi, menurut Fatubun,
di mana pasukan keamanan terus melakukan razia dengan kekerasan dan
mengintimidasi minoritas masyarakat Papua di desa Papua, sehingga
terjadi pengungsian.
“Kongres Rakyat Papua III pada bulan Oktober 2011 lalu dibubarkan
secara paksa, beberapa peserta ditembak dan dibunuh. Sejumlah aktivis
politik damai dipenjara.”
“Pada tahun 2012, terjadi peningkatan kekerasan di mana warga sipil
ditembak oleh orang tak dikenal. Kami menyatakan keprihatinan yang
mendalam atas pembunuhan aktivis hak minoritas, Tuan Mako Tabuni oleh
aparat keamanan pada tahun yang sama.”
“Aktivis minoritas lainnya ditangkap. Hak-hak orang Papua minoritas
atas kebebasan berekspresi dan berkumpul ditolak. Berkenaan dengan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya orang Papua, kami mengamati manajemen
yang buruk dari sumber daya manusia di sektor kesehatan dan
pendidikan,” katanya.
Lanjut Fatubun, meskipun pembangunan fasilitas baru dan ketersediaan
dana yang besar, namun sebagian besar pusat kesehatan dan sekolah tanpa
pengawasan oleh petugas kesehatan dan guru.
Akibatnya, akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan sering
tidak tersedia, terutama di daerah terpencil. Tingkat kematian anak dan
data infeksi HIV/AIDS berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, dan
peringkat tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
“Oleh karena itu, kami menuntut reformasi serius sektor kesehatan.
Dalam pengamatan penutup untuk Indonesia pada tahun 2014, Komite PBB
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan keprihatinan terhadap
kualitas pelayanan publik, termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan
di Papua Barat." .
"Kami mendesak PBB melalui forum ini untuk memanggil Pemerintah
Indonesia untuk memulai dialog dengan perwakilan minoritas Papua Barat,
seperti yang dipromosikan oleh Jaringan Damai Papua," katanya.
Sabtu, 29 November 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar